Selasa, 02 November 2010

Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT/WTO

Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT/WTO
Dr. Antonius Maria Laot Kian, SS, M.Hum

Catataan Pendahuluan: Dari Perdagangan Internasional Hingga GATT
            Berdagang, melakukan transaksi jual-beli, merupakan sebuah kebebasan fundamental (fundamental freedom); dan karena itu kegiatan ini tidak boleh dibatasi oleh perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dan lain sebagainya[1]. Sebagai sebuah kebebasan fundamental, kegiatan perdagangan serta-merta tidak terikat oleh tempat atau wilayah (baca: negara) tertentu. Kesadaran akan kegiatan perdagangan yang melampaui karakter spasial ini pada gilirannya melahirkan konsep perdagangan internasional. Dalam kaitan dengan hal ini, Rafiqul Islam, sebagaimana dikutip Huala Adolf, mendefinisikan perdagangan internasional sebagai “… a wide ranging, transnational, commercial exchange of goods and services between individual business persons, trading bodies and states[2]. Tambahan lagi, teori merkantilisme yang lahir pada abad ke-15 dan 16, dan teori keunggulan komparatif yang muncul sesudahnya[3], mendorong kegiatan perdagangan internasional sebagai tolok ukur perkembangan sebuah negara hingga saat ini. Dengan kata lain, tak ada negara mana pun yang bisa berkembang tanpa membuka diri terhadap perdagangan internasional.
Liberalisasi perdagangan, demikianlah istilah yang paling tepat untuk menampung definisi perdagangan internasional dalam ranah globalisasi dewasa ini[4]. Meskipun demikian, ramainya proses produksi yang mendorong munculnya pertukaran dan distribusi barang dan jasa—yang nota bene menerobos batas-batas ruang konvensional ini—ternyata tidak mudah karena langsung berhadapan dengan sistem hukum sebuah negara. Kenyataan akan adanya perbedaan sistem hukum dari berbagai negara dalam berbagai transaksi perdagangan internasional ini menyebabkan lahirnya tuntutan  untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum. Lain perkataan, semakin banyaknya perjanjian atau kontrak internasional yang disepakati dalam perdagangan internasional, menyebabkan aturan-aturan atau hukum dalam perdagangan internasional pun dilahirkan.
Alhasil, pada bulan Oktober tahun 1947, lahirlah General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang bertujuan untuk menciptakan iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan[5].  Berkaitan dengan tujuan tersebut, GATT berfungsi sebagai forum negosiasi, forum penyelesaian sengketa, dan sebagai peraturan perdagangan internasional di bidang barang[6]. Karena itu, sejak berdirinya, GATT telah mensponsori berbagai perundingan yang dikenal dengan istilah rounds atau Putaran[7]. Dari semua Putaran tersebut, Putaran Uruguay (1986-1994) adalah Putaran terbesar yang mengarah pada pembentukan World Trade Organization (WTO). Jika GATT hanya berkaitan dengan perdagangan barang, WTO mencakup juga perdagangan jasa (GATS: General Agreement on Tariff and Service) dan kekayaan intelektual (TRIPs: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).
Dalam menjalankan fungsi-fungsinya di atas, baik GATT maupun WTO berpedoman pada beberapa prinsip yang berkaitan dengan hukum perdagangan internasional. Sejalan dengan itu, tulisan ini bertujuan menjelaskan prinsip-prinsip GATT/WTO, aspek-aspek kelembagaan WTO, isu-isu penting yang dibicarakan dalam WTO, hubungan antara WTO dan negara-negara berkembang, dan sedikit penilaian atas keberadaan WTO.

Diskursus Awal: Mengapa “GATT/WTO”?[8]
            Banyak orang bertanya, mengapa akronim GATT tetap ditulis bersamaan dengan akronim WTO. Tentu saja secara gramatikal penulisan GATT/WTO mengandung makna tertentu. Walaupun WTO secara resmi berdiri pada 1 Januari 1995, namun sistem perdagangan itu telah ada setengah abad yang lalu. Menagapa? Sejak tahun 1948, GATT telah dibentuk sebagai sebuah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan. Sebagai sebuah Persetujuan Umum, peraturan-peraturan yang dihasilkan masih bersifat sementara.
            Pada awalnya, GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), yaitu suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari IMF dan Bank Dunia. Namun demikian, ITO tidak berjalan lancar lantaran banyak lembaga legislatif dari negara-negara anggota, termasuk Amerika Serikat—yang walaupun berkiprah sebagai pencetus—tidak meratifikasi Piagam Havana[9]. Upaya tersebut membuktikan bahwa perdagangan internasional membutuhkan suatu badan/organisasi. Walaupun upaya untuk menciptakan suatu badan perdagangan internasional pada tahun 1940-an mengalami kegagalan, para perumus GATT sepakat bahwa mereka menginginkan suatu aturan perdagangan. Sekjen PBB sendiri pun berupaya untuk membentuk suatu badan guna pengadministrasian GATT. Para pejabat pemerintah lainnya juga mengharapkan adanya pertemuan/forum guna membahas isu-isu yang berkaitan dengan persetujuan perdagangan. Keinginan tersebut tentu saja memerlukan dukungan sebuah sekretariat yang jelas dengan perangkat organisasi yang efektif. Oleh karena itu, GATT sebagai badan internasional digantikan oleh WTO, sebagai hasil dari Putaran Uruguay (1986-1994).
            Melalui Putaran Uruguay tersebut dinyatakan bahwa GATT sebagai suatu persetujuan masih tetap eksis dan telah diperbarui, tetapi tidak lagi menjadi bagian utama aturan perdagangan internasional. Dengan kata lain, GATT yang mengatur tentang perdagangan barang, masih tetap berlaku, tetapi dimasukkan sebagai bagian dari persetujuan WTO. Itu berarti, walaupun GATT tidak ada lagi sebagai organisasi internasional, persetujuan GATT masih tetap berlaku, dan berdampingan dengan GATS dan TRIPs dalam WTO. Jadi, apakah GATT sama dengan WTO? Tidak! WTO adalah GATT ditambah dengan beberapa kelebihan yaitu berupa GATS dan TRIPs.

Prinsip-prinsip GATT/WTO
            Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, ada beberapa prinsip utama yang dipakai oleh GATT.  Huala Adolf menyebutkan bahwa ada 6 prinsip yang digunakan GATT yaitu Most-Favoured-Nation (MFN), National Treatment, Prinsip Larangan Restriksi Kuantitatif, Prinsip Perlindungan melalui Tarif, Prinsip Resiprositas, dan Prinsip Perlakuan Khusus bagi Negara sedang Berkembang[10]. Dalam kaitan dengan prinsip-prinsip tersebut, dikenal juga Kaidah Dasar Minimum (Minimum Standards), Kaidah Dasar Tindakan Pengaman dengan Klausul Penyelamat (Safeguards and Escape Clause), Kaidah Dasar mengenai Penyelesaian Sengketa secara Damai, Kaidah Dasar Kedaulatan Negara atas Kekayaan Alam, Kemakmuran dan Kehidupan Ekonominya, dan Kaidah Dasar Kerjasama Internasional[11].
            Pertama, Prinsip Most-Favoured-Nation (MFN). Prinsip ini menekankan bahwa suatu kebijakan perdagangan negara harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya. Namun demikian, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini. Salah satu pengecualiannya disebutkan dalam pasal XXIV yang mengatur bahwa jika ada anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Custom Union atau Free Trade Area, maka anggota-anggota GATT tersebut tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya[12].
            Kedua, Prinsip National Treatment. Dalam prinsip ini, negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan yang sama atas barang-barang impor dan lokal, paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik[13]. Ketiga, Prinsip Larangan Restriksi Kuantitatif. Prinsip ini melarang adanya pembatasan kuantitatif terhadap ekspor-impor dalam bentuk apapun[14]. Keempat, Prinsip Perlindungan melalui Tarif. Prinsip ini menekankan bahwa GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya[15].
Kelima, Prinsip Resiprositas. Prinsip ini berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas hubungan timbal balik yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Prinsip ini sering mengalami hambatan dalam pelaksanaannya dikarenakan adanya perbedaan tingkat perekonomian antarnegara, terutama antara negara maju dengan negara berkembang. Sebagai contoh, negara maju ingin mendapat keringanan bea masuk seperti yang diberikan negara tersebut kepada negara sedang berkembang. Padahal, daya saing negara berkembang tidak sekuat negara maju. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip ini harus diimbangi oleh itikad baik dari negara-negara maju untuk membantu perkembangan perdagangan internasional negara-negara berkembang, dengan memberikan perlakukan-perlakuan khusus[16].
Keenam, Prinsip Perlakuan Khusus bagi Negara sedang Berkembang. Prinsip ini berfungsi sebagai dasar hukum bagi negara maju untuk memberikan Generalized System of Preferences (GSP atau Sistem Preferensi Umum) kepada negara-negara sedang berkembang[17]. Dari semua prinsip tersebut, ada sebuah prinsip lain yang disebut Prinsip Transparansi (Transparency), yang mewajibkan negara-negara anggota GATT untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya, sehingga memudahkan para pelaku usaha melakukan kegiatan perdagangan[18].

Aspek-aspek Kelembagaan GATT/WTO
            Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Putaran Uruguay menjadi cikal-bakal berdirinya WTO pada Januari 1995. Tim Penyusun Sekilas WTO (World Trade Organization) menyebut bahwa meskipun WTO telah dibentuk, namun GATT sebagai sebuah persetujuan masih tetap eksis dan diperbarui. Dengan kata lain, kini GATT menjadi bagian dari WTO, berdampingan dengan GATS dan TRIPs[19].  Tentang hal ini, Y. Triyana mengungkapkan bahwa pengaturan perdagangan dunia di bawah WTO pada prinsipnya masih menggunakan sistem GATT. Itu berarti, prinsip-prinsip GATT masih diberlakukan di bawah persetujuan WTO[20].
            Sebagai organisasi perdagangan internasional, WTO memiliki beberapa tujuan yaitu, pertama, mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan dan jasa. Tujuan kedua ialah, memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen[21].  Dan sebagai sebuah organisasi itu pula, WTO memiliki struktur kelembagaan sebagaimana lazimnya organisasi.
            Tim Penyusun Sekilas WTO (World Trade Organization) menyebutkan bahwa kewenangan tertinggi dari WTO ada pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM). KTM bersidang sedikitnya 2 kali dalam setahun[22]. Kewenangan tingkat kedua ada pada General Council yang ditangani oleh Dewan Umum (The General Council), Badan Penyelesaian Sengketa (The Dispute Settlement Body), dan Badan Pengkajian Kebijakan Perdagangan (The Trade Policy Review Body). Kewenangan tingkat ketiga dimiliki oleh Dewan-dewan (Councils). Dewan ini membawahi Perdagangan Barang, Perdagangan aspek HAKI, dan Perdagangan Jasa. Dalam Councils  ini juga terdapat komisi-komisi dan kelompok kerja WTO.

Isu-isu Penting dalam WTO
Ada beberapa isu penting dalam WTO yang juga menjadi perjuangan Indonesia[23]. Pertama, perundingan di bidang Pertanian. Tuntutan liberalisasi pertanian yang diusung WTO mengharuskan adanya penghapusan subsidi domestik, penghapusan subsidi ekspor, dan peningkatan akses pasar melalui penurunan tarif. Beberapa faktor lain yang patut dipertimbangkan ialah ketahanan pangan (food security), pembangunan pedesaan (rural development), pengentasan kemiskinan (alleviation poverty).
Indonesia memperjuangkan konsep Strategic Product agar dikecualikan dari proses liberalisasi pertanian karena produk pertanian sangat terkait dengan faktor ketahanan pangan, pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan, yang nota bene menjadi tulang punggung pembangunan. Untuk itu Indonesia berupaya agar KTM-KTM mengakomodir Strategic Product melalui pembentukan aliansi-aliansi. Selain itu, untuk membahas penurunan tarif atas produk pertanian, Indonesia berpendapat bahwa penurunan tarif atas produk pertanian seyogyanya memperhatikan kepentingan negara berkembang, dan tidak semata-mata menekankan pembukaan pasar. Hal ini dilakukan demi menjamin dimensi keadilan dalam pembangunan.
Kedua, perundingan di bidang Rules. Pada prinsipnya, perundingan bertujuan menyempurnakan Anti Dumping Agreement, Subsidies and Countervailing Measures Agreement (termasuk subsidi perikanan). Isu perundingan di bidang Rules ini bertujuan memperjelas dan menyempurnakan disiplin dan prosedur yang terdapat dalam ketentuan di WTO, khususnya mengenai Regional Trade Agreements (RTAs). Indonesia berkeinginan agar aturan-aturan dalam persetujuan tersebut diperbaiki dengan mempertimbangkan kepentingan negara berkembang dalam rangka akses pasar dan perlindungan domestiknya.
Ketiga, perundingan di bidang Jasa. Perundingan liberalisasi jasa dilanjutkan dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan kepentingan negara berkembang. Sebenarnya, perundingan bilateral telah dimulai apabila beberapa negara telah mengajukan initial request dan initial offer sesuai dengan mandat KTM Doha (2001). Namun negosiasi bilateral tersebut tidak diimbangi dengan kemajuan negosiasi rules making dan pembuatan disiplin domestic regulation. Indonesia berpandangan bahwa proses liberalisasi jasa sebaiknya dilakukan secara bertahap (progressive liberalization), seiring dengan pemberdayaan dan penguatan industri jasa nasional.
Keempat, perundingan di bidang Public Health dan TRIPs. Perundingan di bidang Public Health telah diselesaikan dengan menghasilkan suatu solusi bahwa compulsory licency tidak diterapkan atas produksi obat-obatan yang bertujuan humanis. Namun demikian perlu ada pengawasan dalam implementasinya agar negara berkembang yang memproduksi obat-obatan tidak menyalahgunakan klausul tersebut dengan berdalih memproduksi obat dalam rangka kemanusiaan.
Kelima, perundingan di bidang Investasi. Dalam perundingan ini Indonesia berpendapat bahwa revitalisasi industri dan pertumbuhan sektor riil, harus didorong oleh pertumbuhan investasi yang signifikan. Oleh karena itu Indonesia berupaya menarik investor sebanyak-banyaknya melalui kebijakan investasi yang transparan dan nondiskriminatif. Dan keenam, perundingan di bidang Lingkungan. Perundingan ini bertujuan mengintegrasikan kebijakan lingkungan yang berdampak terhadap pengaturan akses pasar perdagangan oleh WTO. Indonesia berkeinginan agar kebijakan lingkungan tidak diatur dalam WTO karena akan mempersyaratkan standar yang tinggi terhadap akses pasar produk negara berkembang.

WTO dan Negara Berkembang
            Menarik untuk dicatat di sini bahwa WTO mengatur juga tentang perlakuan berbeda dan khusus yang ditujukan bagi negara-negara sedang berkembang yang menjadi anggotanya[24]. Bahkan hampir semua persetujuan WTO mengandung ketentuan tentang special rights (differential and more favourable) bagi negara-negara sedang berkembang anggota WTO[25]. Sekretariat WTO telah mengklasifikasi 6 tipologi yang menjelaskan tujuan dari Special and Differential Treatment (S&D Treatment), yaitu[26], pertama, ketentuan yang bertujuan untuk meningkatkan peluang perdagangan bagi anggota negara berkembang. Ketentuan ini mencakup semua tindakan yang dilakukan oleh negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan peluang-peluang perdagangan bagi negara berkembang. Untuk maksud ini ada beberapa ketentuan yang tersebar dalam 4 persetujuan (pertanian, tekstil dan pakaian jadi, perdagangan jasa, dan Enabling Clause), yang dapat dimanfaatkan oleh negara anggota[27].    
Kedua, ketentuan di mana negara anggota WTO harus melindungi kepentingan Developed Countries (DCs). Ketentuan ini adalah memuat tindakan yang dapat dilakukan oleh negara anggota, atau tindakan yang dapat dihindarkan oleh negara anggota agar kepentingan negara berkembang dapat terlindungi. Ketiga, fleksibilitas komitmen, tindakan dan penggunaan instrumen kebijakan. Ketentuan ini terkait dengan tindakan negara berkembang yang dapat dilakukan melalui exception (pengecualian) dari disiplin yang harus diterapkan oleh negara-negara anggota secara umum. Keempat, periode waktu transisi.  Ketentuan ini berhubungan dengan pengecualian ikatan waktu dari disiplin yang secara umum diterapkan.  Kelima, bantuan teknis. Mengenai bantuan teknis, negara maju telah sepakat untuk memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang dan terbelakang. Hal ini dilakukan karena level of development tiap negara anggota WTO berbeda. Dan keenam, ketentuan yang berhubungan dengan Least-Developed Countries (LDCs). Ketentuan ini penerapannya terbatas hanya bagi negara terbelakang sesuai dengan kriteria PBB.
Dalam kaitan dengan hak khusus bagi negara berkembang itu pula, pasal XVIII GATT di bawah judul “Bantuan Pemerintah untuk Pembangunan Ekonomi” memberikan landasan bagi perlakuan khusus terhadap negara-negara sedang berkembang. Dalam pasal tersebut disadari bahwa pencapaian tujuan GATT didukung oleh perkembangan ekonomi negara-negara yang sedang berkembang. Karena itu, negara-negara tersebut harus diperhatikan secara khusus, dalam bentuk pemberian peralatan protektif yang mempengaruhi impor[28]. Sebaliknya, kewajiban negara berkembang sebagai anggota WTO adalah melaksanakan semua komitmen yang telah dibuat pada waktu penandatanganan pembentukan WTO, baik komitmen di bidang perdagangan barang, jasa, maupun HAKI[29].

Sebuah Penilaian atas Keberadaan WTO
            Indonesia sudah sejak semula meratifikasi persetujuan WTO melalui UU No. 7/1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” ini, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan dengan demikian, semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional[30]. Beberapa pengamat ekonomi menilai bahwa Indonesia terlalu tergesa-gesa meratifikasi persetujuan WTO tersebut. Alasan belum siapnya kondisi masyarakat menghadapi peta persaingan global dan belum memadainya infrastruktur di Indonesia, sering diajukan sebagai alasan pembenar lantaran hingga kini Indonesia masih belum bisa “tinggal landas”. Jika dibandingkan dengan Cina yang baru meratifikasi persetujuan WTO pada tahun 2004, kondisi Indonesia terasa sangat memprihatinkan. Tentu saja alasan kesiapan bangsa, baik secara suprastruktur maupun infrastruktur yang telah diungkapkan di atas dapat diterima dalam tataran ini.       
            Sebenarnya, jika kita berbicara tentang penilaian atas keanggotaan Indonesia dalam WTO, beberapa contoh dapat kita ajukan di sini. Deddy Saleh dalam makalahnya yang berjudul “WTO dan Negara Berkembang” mengungkapkan bahwa manfaat yang dapat diambil dengan bergabungnya negara berkembang di WTO ialah, reformasi fundamental di bidang perdagangan produk pertanian; adanya keputusan untuk menghilangkan kuota ekspor tekstil dan pakaian jadi secara bertahap; pengurangan bea masuk pada produk-produk industri; perluasan cakupan produk-produk yang bea masuknya terikat ketentuan WTO sehingga sulit dinaikkan; dan penghapusan persetujuan bilateral yang dapat menghambat arus perdagangan dari barang-barang tertentu[31].
Namun dalam sudut pandang yang berbeda, Achmad Ya’kub mengajukan makalahnya yang berjudul “WTO Mati Suri, Saatnya Untuk Kedaulatan Pangan”. Wakil dari organisasi masyarakat sipil untuk perjuangan petani dan buruh tani ini menyatakan bahwa WTO adalah salah satu mekanisme utama dari globalisasi korporasi. Buku aturan WTO yang berisi lebih dari 700 halaman tersebut merupakan suatu sistem perdagangan bergaya korporatis (corporate-managed) yang komprehensif. Ekspansi pasar pertanian internasional hanya membuat untung Amerika dan Uni Eropa dengan perusahaan-perusahaan transnasionalnya, seperti Monsanto, Cargill, dan lainnya. Komoditi yang sangat murah dari perusahaan-perusahaan raksasa tersebut telah membanjiri pasar domestik di negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Padahal, sudah saatnya bagi Indonesia untuk memiliki kedaulatan pangan, sebuah konsep yang diinginkan oleh buruh tani dan petani kecil untuk menghentikan kelaparan yang banyak menimpa dirinya sendiri[32].
Jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip GATT dalam penjelasan sebelumnya, ada beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian. Misalnya saja prinsip Larangan Restriksi akan melemah jika negara maju meminta negara berkembang untuk mengurangi atau membatasi kuantitas ekspornya. Padahal, negara berkembang justru mampu berbenah melalui ekspornya. Hal senada berlaku juga untuk prinsip Resiprositas. Prinsip ini secara teoritis dapat dibenarkan; namun dalam ranah praksis, prinsip ini tidak dapat berjalan karena perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara berkembang.
Martin Khor, seorang aktivis yang kritis terhadap neoliberalisme, mengusulkan agar beberapa kesepakatan yang sudah dihasilkan dalam WTO selayaknya ditinjau kembali[33]. Menurutnya, persetujuan-persetujuan WTO lebih banyak menguntungkan negara-negara maju. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa WTO justru menjadi perangkap bagi kekuasaan pasar yang amat efektif untuk “memaksa” berbagai negara agar mematuhinya. Meskipun ada prinsip nondiskriminasi, namun kemampuan negosiasi (bargaining power) dari negara-negara berkembang masih sangat lemah. Fakta ini diperparah oleh sikap ketergantungan dari negara berkembang kepada negara maju, yang sebenarnya lahir dari kemenangan modal negara maju. Itulah sebabnya berbagai perundingan yang membahas masalah-masalah penting dan urgen selalu menguntungkan negara maju.
Sebuah contoh yang menarik dapat dilihat dalam perdebatan seputar obat-obatan[34]. Dalam pertemuan tingkat menteri WTO di Doha (2001), kalangan negara miskin dan negara berkembang bersikukuh dengan usulan agar setiap negara tetap berhak menggunakan versi generik dari obat yang sudah dipatenkan. Negara miskin dan berkembang juga bersikeras agar negara yang tidak memiliki industri farmasi bisa memperoleh obat versi generik tersebut dari negara tetangga. Atas alasan kemanusiaan, kalangan negara miskin dan negara berkembang mulai mendapatkan dukungan dari negara maju, terutama dari negara-negara di Eropa.   
Negara-negara di Eropa yang mendukung proposal ini mendasarkan diri pada sejumlah alasan. Pertama, menurut mereka, setiap orang berhak atas layanan kesehatan yang memadai, termasuk akses terhadap obat. Dengan kata lain, menurut mereka tidak adil bila orang-orang miskin di negara berkembang dipaksa untuk membayar obat dengan harga yang sama dengan sesamanya di negara maju. Apalagi umumnya pemerintah di negara miskin dan berkembang belum mampu memberikan perlindungan dan fasilitas kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Pengabaian terhadap kenyataan ini telah berdampak pada tewasnya belasan juta rakyat miskin setiap tahunnya hanya karena mereka tidak mampu membeli obat.
Kedua, dalam kenyataannya, banyak industri farmasi yang memanfaatkan hak atas kekayaan intelektualnya itu untuk memaksimalkan laba. Seorang aktivis LSM Singapura memperlihatkan betapa satu pabrik obat bisa membanting harga produknya begitu ada pesaing yang memproduksi obat sejenis. “Itu berarti bahwa laba yang selama ini diperoleh perusahaan tersebut sudah sangat berlebih”, demikian tulis seorang aktivis dalam situs resmi Oxfam, LSM yang bergerak di bidang kesehatan dan kemanusiaan.
Ketiga, banyak di antara obat-obat yang dipatenkan itu mendapatkan bahan bakunya dari kekayaan plasma nutfah negara miskin atau negara berkembang. Jadi, sungguh tidak adil jika industri negara maju memaksa rakyat negara miskin dan berkembang “untuk membeli kembali kekayaan mereka.”
Masalahnya ialah, Amerika Serikat (USA), yang de facto merupakan kekuatan terbesar WTO, masih menentang usulan itu. Memang sekarang negara tersebut sudah mulai “melunak”, yakni mau mengakomodir kepentingan negara miskin dan negara berkembang untuk tetap mendapatkan hak produksi versi generik atas obat yang dipatenkan. Namun USA tetap mempertahankan pendapat bahwa ekspor obat generik dari satu negara ke negara lain tidak boleh terjadi. Alasan formal yang diajukan oleh USA dalam forum WTO adalah, pertama, bahwa praktek tersebut akan mendorong penyelundupan obat generik dari negara berkembang ke negara maju, bahkan ke USA sendiri. Harian Washington Times melaporkan bahwa pernyataan USA bukanlah omong kosong karena banyak produk obat generik yang ditujukan untuk masyarakat Sub-Sahara ternyata ditemukan di pelabuhan di Belgia.
Kedua, USA khawatir bahwa hak produksi obat generik akan mendorong industri farmasi negara berkembang untuk memaksimalkan laba dengan memproduksi obat generik tersebut. Kekhawatiran ini didasarkan oleh adanya fakta bahwa umumnya di negara berkembang hanya ada satu atau dua perusahaan farmasi yang memproduksi obat generik yang dimaksud. Ketiga, USA berpendapat bahwa pelepasan hak paten akan menyurutkan semangat mereka yang bergerak dalam bidang riset dan pengembangan, karena mereka tidak akan mendapatkan insentif uang yang memadai atas kerja keras yang mereka lakukan.
Berkaca dari kejadian tersebut, pertanyaan diskursif yang terus menjadi landasan kajian kritis terhadap keberadaan WTO ialah, benarkah WTO mengusung tujuan-tujuan strategis dalam ekonomi internasional? Kekhawatiran para pengamat ekonomi akan pincangnya pertumbuhan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang dalam taraf ini dapat saja dibenarkan sebab meski diberi perlakuan istimewa, posisi tawar negara-negara berkembang masih tetap lemah. Mungkin yang terbaik ialah membenahi dan memperkuat sistem ekonomi dan sistem hukum dalam negeri dahulu, baru kemudian secara kritis meratifikasi berbagai perjanjian internasional.

Catatan Penutup: Simpul
Apakah GATT sama dengan WTO? Makalah ini pada akhirnya menemukan bahwa WTO sebenarnya adalah GATT ditambah dengan banyak kelebihan, yaitu dengan tambahan berupa GATS dan TRIPs. Itulah sebabnya tak dapat dipungkiri lagi bahwasanya kehadiran GATT/WTO memberi dampak yang signifikan bagi perkembangan perdagangan internasional. Yang paling jelas terlihat di sini ialah terciptanya aturan-aturan atau hukum dalam hal perdagangan internasional yang secara niscaya bersifat pasti dan dapat diterima oleh negara-negara yang meratifikasinya. Berbagai prinsip yang berkembang dalam GATT/WTO pun menggarisbawahi betapa GATT/WTO sangat berperan dalam menentukan roda perdagangan internasional. Bukan hanya sampai di situ. aspek-aspek kelembagaan WTO, berikut berbagai isu yang dibicarakan di dalamnya, menegaskan pula bahwa WTO berperan besar dalam menetapkan ke arah mana hubungan multilateral dalam perdagangan internasional itu dibawa.
Meskipun demikian, pendapat berbagai kalangan yang memandang negatif keberadaan WTO perlu juga diperhatikan sebagai tolok ukur untuk menilai sejauh mana WTO memberi perubahan ekonomi bagi sebuah negara berkembang. Terlepas dari kontroversi tersebut, yang terpenting sekarang ialah memperkuat ekonomi dan sistem hukum dalam negeri sendiri. Kebijakan semacam ini bukan terutama mengajukan proteksi, melainkan terlebih berupaya menegakan kedaulatan ekonomi dan hukum di negara sendiri, agar dapat dipersandingkan dengan sistem ekonomi dan hukum negara lain dalam posisi bargaining power yang sama.

Bacaan Pendukung:

Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), Sekilas WTO (World Trade Organization), Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, edisi ke-3, (tanpa tahun).

F.X. Soedijana, SH., dkk., Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum), Yogyakarta: Universitas Atmajaya, cet. I, 2008.

Herry Priyono, “Marginalisasi á la Neoliberal”, dalam BASIS, No. 05-06, Tahun Ke-53, Mei-Juni 2004.

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Lembaran foto copy kuliah Pascasarjana Hukum Dagang Internasional yang dibagikan Dr. Ig. Sumarsono Rahardjo, SH., M.Hum., pada hari Rabu, 18 Februari 2009.

Y. Triyana, SH., M.Hum., “Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi”, Catatan Kuliah Pascasarjana Hukum Bisnis, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009.





file://localhost/E:/KTM%20DAN%20WTO.htm, Senin, 16 Maret 2009, 11. 50.





[1] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, 3.
[2] Ibid, 7.
[3] Ibid, 19-20. Teori Merkantilisme berpendirian bahwa perdagangan nasional merupakan instrumen kebijakan nasional. Sebagai instrumen kebijakan nasional, maka teori ini sangat menekankan banyaknya ekspor dan pengurangan barang impor. Sebagai perlawanan atas teori tersebut, David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori Keunggulan Komparatif. Teori ini berpandangan bahwa perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Karena itu, teori ini  menekankan spesialisasi dari sebuah produk. Dengan kata lain, menurut teori ini, faktor terpenting dalam perdagangan bukan terletak pada ukuran, melainkan terletak pada kemampuan untuk memaksimalkan potensi.
[4] Dalam hubungan dengan hal tersebut, Alvaro J. de Regil mendefinisikan globalisasi sebagai proses penghapusan berbagai kendali yang menghalangi gerak kinerja perdagangan dan modal untuk merentang jangkauan seluas bola dunia. Lih. Herry Priyono, “Marginalisasi á la Neoliberal”, dalam BASIS, No. 05-06, Tahun Ke-53, Mei-Juni 2004, 15-17.
[5] Huala Adolf, op. cit., 98. Sebagai catatan, Darianto Harsono dkk. selaku Tim Penyusun Sekilas WTO (World Trade Organization) menyebut tahun 1948 sebagai tahun lahirnya GATT (Lih. Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), Sekilas WTO (World Trade Organization), Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, edisi ke-3, (tanpa tahun), 2. Terlepas dari mekanisme penetapan tahun lahirnya, pada prinsipnya GATT muncul di tengah sebuah fakta proteksi ekonomi pasca perang dunia ke-2.
[6] Y. Triyana, SH., M.Hum., “Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi”, Catatan Kuliah Pascasarjana Hukum Bisnis, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009, 5.
[7] Huala Adolf, op. cit., 99-100. Sejauh ini telah diadakan 8 Putaran. Putaran I: Jenewa (1947, 23 negara); Putaran II: Annecy-Prancis (1947, 13 negara); Putaran III: Torquay-Inggris (1951, 38 negara); Putaran IV: Jenewa (1956, 26 negara); Putaran V: Jenewa/Dillon (1960-1961, 26 negara); Putaran VI: Kennedy (1964-1967, 62 negara); Putaran VII: Tokyo (1973-1979, 102 negara); Putaran VIII: Uruguay (1986-1994, 123 negara).
[8] Bagian ini diambil dari Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), op.cit., 2-3.
[9] Piagam Havana ialah Piagam ITO yang dihasilkan dalam United Nations Conference on Trade and Development di Havana, pada bulan Maret 1948.
[10] Huala Adolf, op. cit., 108-118.
[11] Kaidah-kaidah ini disebutkan dalam lembaran foto copy kuliah Pascasarjana Hukum Dagang Internasional yang dibagikan Dr. Ig. Sumarsono Rahardjo, SH., M.Hum., pada hari Rabu, 18 Februari 2009, selain beberapa prinsip yang telah disebutkan oleh Huala Adolf di atas. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa kaidah Minimum Standard menekankan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada pedagang asing dan hartanya; Escape Clause menekankan bahwa jika tidak ada upaya lain, maka untuk sementara dibenarkan adanya kebijakan proteksi bagi industri dalam negeri; kaidah Penyelesaian Sengketa secara Damai menekankan prinsip negosiasi; kaidah Kedaulatan Negara atas Kekayaan Alam, Kemakmuran, dan Kehidupan Ekonomi menggarisbawahi prinsip Imunitas Negara; dan selanjutnya kaidah Kerjasama Internasional menekankan asas tanggung jawab kolektif.
[13] Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), op.cit., 4.
[14] Huala Adolf, op.cit., 113.
[15] Huala Adolf, op. cit., 114.
[17] Huala Adolf, op. cit., 117-118.
[18] Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), op. cit., 4.
[19] Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), op. cit., 3.
[20] Y. Triyana, SH., M.Hum., op. cit., 10.
[21] Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), op. cit., 1.
[22] Darianto Harsono dkk. (Tim Penyusun), op. cit., 15. Hingga kini telah diadakan 5 KTM. KTM I: Singapura (1996); KTM II: Jenewa (1998); KTM III: Seattle (1999); KTM IV: Doha (2001); KTM V: Cancun (2003).
[23] Diambil dari file://localhost/E:/KTM%20DAN%20WTO.htm, Senin, 16 Maret 2009, 11. 50.
[24] Hingga kini terdapat 148 negara anggota WTO dan 31 negara peninjau.
[25] Y. Triyana, SH., M.Hum., op. cit., 11.
[27] Pada waktu Putaran Tokyo (1979) berakhir, negara-negara sepakat mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia. Inilah yang disebut dengan Enabling Clause.
[28] F.X. Soedijana, SH., dkk., Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum), Yogyakarta: Universitas Atmajaya, cet. I, 2008, 70.
[34] Bagian ini dikutip dari http://jurutulis.com/wto-paten-dan-obat-untuk-negara-miskin.html, Senin, 16 Maret 2009, 12.02.

1 komentar:

  1. Semoga posting yang selalu kami baca disini bisa bermanfaat untuk Pengunjung, dan ini memang informasi yang sangat
    berguna untuk dibiarkan begitu saja.banyak
    hal yang telah Kami dapatkan sesudah mengetahui Info ini akan Kami coba
    untuk pelajari lebih lanjut. Terimakasih untuk posting ini.

    andai berkenan, saya berharap agan juga singgah di beranda kami di http://youtu.be/5JS3DIe0mJs

    Feel free to visit my page; Film Boboiboy Terbaru

    BalasHapus